Ulasan
Ulasan Kumpulan Puisi “Malu (Aku) jadi Orang
Indonesia” Karya Taufiq Ismail
Oleh: Imam Basori A.
Buku kumpulan puisi yang dikarang oleh penyair Taufiq Ismail dengan judul “Malu (Aku) jadi Orang Indonesia” ini terdiri atas tiga bagian, yaitu Malu (Aku) jadi Orang Indonesia, 46 puisi, ditulis antara Mei-Oktober 1998, Kembalikan Indonesia Padaku, 44 puisi, ditulis antara 1966-1997 dan Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung, 10 puisi, ditulis antara 1986-1995, pernah dibacakan sebagai pidato kesenian Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-50 RI Agustus 1995 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Taufiq Ismail riwayat hidup pribadinya memang sarat dengan
pengalaman sejarah dan terlibat penuh di dalamnya, ia sebagai penyair yang
sangat peka dengan sejarah. Oleh
karena itu, ia tumbuh sebagai sosok yang menentang segala
bentuk penindasan. Adapun kumpulan puisi dalam buku tersebut adalah Protes kepada Orde Baru, gugatan kepada
kebobrokan akhlak yang lebih luas dari sekadar kekuasaan politik. Secara umum, ciri
khas dari keseluruhan puisi karya Taufiq Ismail ini, tampak pada kata – kata yang merangkai
puisi tersebut. Kata – kata yang digunakan umumnya kata – kata yang lugas,
tidak bertele – tele, dan dekat dengan bahasa lisan serta dapat menimbulkan
imajinasi. Dengan cara bersajak dapat membangun imaji-imaji visual sehingga
seolah-olah peristiwa terpampang di depan mata. Di dalam buku kumpulan puisi
ini tidak lagi gambaran visual yang kental, tetapi telah digantikan
dengan “penjelasan” terurai meskipun dengan imaji yang sangat padat, imaji yang
dibangun tidak lagi melukis gejala konkret, tapi menjelaskan gejala
abstrak. Contoh salah satu puisinya adalah “Yang Selalu Terapung di Atas
Gelombang”. Di dalam puisi itu menceritakan tentang korupsi.
Selain memiliki tampak dari kata-katanya yang lugas dan imajinasi. Di
dalam buku ini setiap puisinya tidak mengandung unsur cengeng atau manja, jika
puisi itu mengisahkan kesedihan
maka bukan berarti itu mengandung unsur cengeng, tetapi
menunjukan ketegaran dan keikhlasan yang jantan. Hal tersebut dapat dilihat dari puisinya yang berjudul “12,
Mei 1998”. Dalam puisi tersebut Taufiq Ismail secara sekaligus ingin
menunjukkan kesedihan karena telah gugurnya empat mahasiswa, yaitu Elang Mulya,
Heri Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Puisi tersebut bermakna
perjuangan empat mahasiswa pengukir reformasi, telah bertaruh
nyawa
untuk mewujudkan tujuan bersama. Tidak larut dalam bersedih-sedihan, tetapi tetap tegar
dan berani melanjutkan perjuangan mereka. Taufiq Ismail juga menunjukkan
ketegaran dan keberanian yang dapat terlihat dari kalimat “tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama, dan kalian
pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta
dari Tuhan”. Jasa tersebut tidak disia-siakan oleh mereka yang mendukung
kebenaran, akan selalu dikenang dan akan tumbuh lagi nama-nama pejuang
reformasi lainnya.
Meski
kebanyakan puisinya selalu menggunakan bahasa yang lugas dan keberanian untuk
mengungkapkan segala sesuatu. Namun, sebenarnya di balik
semua itu, tersimpan pesan yang mendalam dengan kejujuran yang berani untuk
mewujudkan kebenaran yang diungkapkan secara gamblang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar