Sinopsis Novel “Jalan Tak Ada Ujung” Karya Mochtar Lubis

 

Sinopsis



Sinopsis Novel “Jalan Tak Ada Ujung” Karya Mochtar Lubis

Oleh: Imam Basori A.




 Guru Isa adalah seorang guru sekolah di Tanah Abang yang harus hidup dalam banyak cobaan kehidupan. Kehidupan keluarganya yang sederhana bersama Fatimah istrinya dan Salim anak yang dipungutnya bersama Fatimah. Isa adalah seorang guru yang sangat dihormati oleh tetangga-tetangganya.

Suatu ketika Guru Isa melewati Gang Jaksa, saat itulah ketakutannya mulai memuncak, pada saat itu Guru Isa sedang berjalan menuju ke sekolahannya. Setibanya di jalan Gang Jaksa terdengar suara teriakan para serdadu. Guru Isa berlindung di rumah yang tidak di kenalnya, dia melihat dari balik jendela apa yang terjadi hingga tanpa sadar seorang mendobrak pintu rumah itu yang membuat tubuhnya bergetar. Akhirnya, serdadu pun pergi, tapi Guru Isa bersama orang-orang lain keluar rumah untuk melihat keadaan. Di sana didapati seseorang yang sedang tergeletak seorang Tionghoa yang tertembak oleh serdadu-serdadu. Guru Isa melihat darah yang merah kental mengalir di hadapannya. Ketika sampai di sekolah pun dia masih merasa ketakutan. Kemudian, Guru Isa memainkan biolanya untuk menenangkan hatinya. Datanglah Saleh, setelah beberapa saat memainkan biolanya mereka memutuskan pulang. Sampai di rumah pun ia masih merasakan ketakutannya itu.

Saat menghadiri rapat dia bertemu seseorang yang bernama Hazil, ia adalah seorang pejuang revolusi pada zaman itu dan ia pandai bermain biola sekaligus sebagai komponis. Di sana Guru Isa mendapat tugas sebagai kurir untuk mengantarkan senjata dan surat-surat ke Kota Jakarta. Sebenarnya Guru Isa tidak ingin mendapat pekerjaan itu karena dia tidak mau dibilang seorang pengecut. Oleh karena itu, dengan sangat terpaksa ia menurut. Akhirnya, Guru Isa mendapat pekerjaan itu. Kemudian, Guru Isa dan Hazil bekerja mengangkut senjata dan bom tangan di Asam Reges dengan truk milik tuan Hamidy dengan di kemudikan oleh Abdullah. Setelah sampai di sana mereka bertemu dengan Rakhmat yang telah menunggu. Rakhmat adalah seorang pemuda yang berani dan bersemangat sama seperti Hazil. Setelah mereka mengangkut senjata dan bom mereka akan menyimpan di Manggarai, kemudian diselundupkan ke Kerawang. Penyelundupan yang dilakukan berjalan dengan lancar, tetapi Guru Isa sangat merasa ketakutan karena dia awak kalinya ikut berjuang dalam kemerdekaan. Serdadu dengan kejamnya membawa orang-orang dan bahkan jika orang-orang berusaha kabur atau lari, serdadu itu langsung menembak di tempat. Dalam hati Guru Isa berkata sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan para serdadu ini.

Kampung Kebon Sirih adalah tempat tinggal Guru Isa, tempat itu diadakan pertemuan untuk  membahas Revolusi Kemerdekaan yang diketuai oleh Hazil. Dia pemuda yang berani, pintar, dan yang paling bersemangat untuk menggerakan para warga agar mengikuti perjuangan kemerdekaan. Di luar terdapat para pemuda yang sedang berjaga dengan membawa golok dan bambu runcing, berpikir bahwa setiap saat musuh akan menyerbu kapan saja, dan semua orang dalam rapat telah bersumpah berani mati dan berkorban hanya untuk Kemerdekaan. Kemudian, Guru Isa terpilih menjadi kurir pengantar senjata dan surat–surat dalam Kota Jakarta. Guru Isa takut dan terkejut dia menjadi anggota penting, sebenarnya dia tidak ingin dan takut, tetapi karena desakan-desakan dari pihak organisasi, akhirnya dia mau dengan terpaksa.

Hazil, Guru Isa, dan Rakhmat teman Hazil yang juga pemuda berani dan haus akan kemerdekaan Indonesia. Mereka berencana untuk mengobrak–abrikkan serdadu–serdadu Belanda yang akan keluar dari bioskop yang bernama Rex, di Kramatplein. Mereka telah membawa granat tangan dan akan melemparnya bersama–sama, kemudian lari meninggalkan jejak dari tempat, itulah rencana yang mereka rencanakan. Selama ini mereka hanya bersembunyi saat ada serdadu–serdadu menggeledah rumah, hanya diam tak berbuat apa–apa, hanya rencana–rencana saja yang mereka bicarakan tak ada tindakan nyata. Saat inilah yang mereka akhirnya sadar untuk melakukannya.

Hazil dan Rakhmat sebagai pelempar granat tangan, sedang Guru Isa berada di luar restoran sebagai pengawas untuk melihat apa yang terjadi setelah mereka melemparkan granat itu. Bunyi ledakan pertama datang dengan tidak disangka–sangkanya. Disusul ledakan kedua yang telah menimbulkan kacau balau saat orang–orang keluar dari Bioskop Rex dan beberapa serdadu Belanda terluka akibat ledakan bom tersebut. Orang menjerit, melolong, berlari kemana–mana, serdadu menembak sana sini dan bunyi pekik dan jerit orang. Hazil dan yang lain langsung kabur untuk meninggalkan jejak pengeboman yang mereka lakukan. Setelah bubar, mereka berkumpul di balok tembok rumah tak dikenal. Mereka membicarakan tentang kejadian barusan, dan ternyata yang hanya dua orang yang tergeletak dan dibawa oleh ambulans dan banyak orang luka–luka. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pulang dan mungkin untuk waktu yang lama tidak ada rapat atau perkumpulan lagi.

Setelah seminggu berlalu, bunyi berita koran menuturkan “Seorang dari pelempar granat tangan tertangkap”. Hal itu mengejutkannya, siapa yang tertangkap? Hazil? Ataukah Rakhmat? Guru Isa takut, terbayang di pikirannya bahwa sebentar lagi dia juga akan tertangkap. Tiga hari berlalu, polisi mendatangi rumah Guru Isa dan ingin membawa Guru Isa ke kantor. Tetangga–tetangganya memandang Guru Isa dan mata mereka mengikuti perginya Guru Isa, tak satu pun yang dapat berkata. Sesampainya di kantor, Guru Isa dimasukkan  dalam kamar kecil sendirian hingga dia dipindahkan ke kamar lain guna melakukan intrograsi padanya. Dia ditanya segala macam, diminta untuk mengaku karena polisi telah tahu semuanya, namun Guru Isa takut dan ragu untuk mengakui apa yang telah dilakukannya dan kemudian ia pingsan dengan sendirinya. Saat ia tersadar dalam kamar, ia mendengar suara yang ia kenal. Hazil disiksa oleh polisi–polisi dan Hazil menangis, dia berpikir bahwa ia bersalah, ia tidak tahan siksaan mereka, ia ingin mati sekarang.

Pintu terbuka dan kapten serta dua orang polisi milter telah datang. Guru Isa ditanyai lagi, tetap Guru Isa menjadi panik dan takut. Polisi akhirnya tidak sabar akan tidak maunya mengaku Guru Isa. Lalu, menendang Guru Isa tepat di rongga dadanya, seakan tulang rusuknya telah remuk dan disusul lagi tendangan kedua. Hazil meminta kepada Guru Isa untuk mengaku, namun Guru Isa masih belum bisa berkata dan dadanya masih terasa amat sakit. Polisi itu datang malam esoknya dan esoknya lagi dengan membawa ancaman dan penuh ketakutan, namun selamanya Guru Isa tidak akan mengaku.

Setelah berulang kali mereka disiksa, Guru Isa sadar bahwa Hazil sudah tiada lagi berdaya dan Guru Isa sebaliknya, ia merasa telah bangkit, ia sudah tiada lagi merasa takut  selama menjadi anggota revolusi. Di ujung kamar, Hazil tidur mengerang dengan mimpi-mimpi ketakutannya. Saat Guru Isa mendengar derap langkah kaki sepatu berat ke kamar mereka, Guru Isa merasa tidak takut lagi. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya lagi, teror yang dialaminya saat merasa takut akan kegiatan organisasi mereka yang sembunyi–sembunyi melawan serdau–serdadu yang berujung dengan ketidakpastian akan kemerdekaan yang mereka impikan. Guru Isa sekarang telah bebas.










4 komentar:

Puisi Sang Penguntai Masa Depan

  Sang Penguntai Masa Depan  _Karya: Imam Basori Alwi_  Setahun sekali memperingati hari jasamu  Hanya sehari mengenang pengabdianmu Sungguh...