Prosa dari Drama “Ayahku Pulang” Karya Usmar Ismail

 

Prosa dari Drama




Sumber: Foto Teater Dza 'Izza




Prosa dari Drama “Ayahku Pulang” Karya Usmar Ismail

Oleh: Imam Basori A.

 

Raden Salah selaku kepala keluarga pergi meninggalkan tiga orang anak, yaitu Gunarto, Maimun, dan Mintarsih, serta menceraikan Tina istrinya dengan keadaan ekonomi yang susah. Pada suatu malam Gunarto melihat ibunya yang sedang memikirkan suaminya. Saat itu adalah malam hari raya, Raden Salah meninggalkan keluarga kecilnya dengan kejam tidak ada kata sepatah pun. Di samping itu, kesalahan suaminya sudah dimaafkan. Ia merasa suaminya masih mengingat mereka.

Di tengah kemiskinan, anak-anaknya membanting tulang untuk menghidupi keluarga. Mintarsi adalah adik dari Gunarto yang bekerja sebagai penjahit. Gunarto sebenarnya tidak ingin adik-adiknya bekerja, ia ingin cukup dirinya sendiri yang akan mencukupi kebutuhan keluarga. Di sisi lain, ibu berpandangan berbeda bahwa Mintarsi bekerja itu nantinya kepandaian setelah kawin tidak sia-sia. Sebenarnya Mintarsih sudah ada yang melamar, tetapi Mintarsih nampaknya belum mau bersuami. Namun, orang tua dari pihak laki-laki terus mendesak. Dari pihak laki-laki adalah seseorang hartawan. “Apa salahnya, Bu? Mereka uangnya banyak!” ujar Gunarto. Perkataan tersebut ditepis oleh ibu, ibu tidak ingin terulang kembali kepada Mintarsih. Karena pada saat menikah dulu ibu dengan Raden salah, Raden Salah adalah seorang hartawan yang mempunyai tanah dan kekayaan yang sangat banyak dan mewah. Kemudian ibu dan Raden Salah jatuh miskin, dengan tidak tahannya suaminya kondisi teresebut sehingga ia meninggalkan keluarganya. Ibu tidak ingin terulang kembali kali kedua, ia ingin Mintarsih menikah dengan laki-laki baik budi pekertinya.

Di dalam rumah ada Gunarto dan Ibu yang sedang menunggu Maimun. Maimun agak malam pulangnya ternya ia berbuka puasa dengan teman-teman kantornya. Mimun menceritakan apa yang dilihatnya tadi pagi seorang tua yang mirip dengan Raden Salah (ayah). Ibu mengira  dia sudah meninggal dunia atau keluar negeri. Sudah dua puluh tahun semenjak dia pergi pada malam hari raya. Ada kabar waktu itu kata orang, dia mempunyai toko yang sangat besar disana. Dan kata orang juga yang pernah melihat, hidupnya sangat mewah. Mengetahui hal itu, Gunarto kesal karena selama ini mereka hanya makan lumpur. Selama ini Maimun ternyata belum pernah melihat wajah ayahnya. Selain itu, Gunarto masih penasaran dengan hal orang tua yang diceritakan oleh Maimun. Maimun balik penasaran dengan wajah ayahnya, disuruhlah Gunarto untuk menceritaknnya, tetapi dengan cepat Gunarto menjawab bahwa ia tidak ingat lagi dengan wajah ayahnya, bahkan ia ingin melupakannya.

Maimun memberi  kabar aneh lagi, tadi pagi ia berkenalan dengan orang India. Dia mengajarkan Maimun bahasa Urdu dan Maimun memberikan pelajaran bahasa Indonesia kepada dia. Mendengar hal itu Gunarto senang, ia memberi nasihat kepada Maimun harus mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Supaya nanti dapat dibanggakan kalau ia bisa jadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat. Jangan seperti Gunarto, hanya lulusan sekolah rendah. Gunarto tidak pernah merasakan atau bisa lebih tinggi lagi karena Gunarto tidak punya Ayah. Tidak ada orang yang mau membantunya. Sementara itu, Maimun yang sekolah cukup tinggi, bekerja sekuat tenaga. Gunarto percaya Maimun pasti bisa memenuhi tuntutan zaman sekarang.

Di ruang tamu terdapat Ibu, Maimun, dan Gunarto yang sedang menunggu Mintarsih untuk berbuka puasa. Berbuka puasa telah selesai, Mintarsih baru datang maka ia terlambat. Tiba-tiba Mintarsih mendengar sesuatu. Ia melihat ada orang tua di ujung jalan. Dari jembatan sana melihat-lihat ke arah rumah mereka. Nampaknya seperti seorang pengemis. Pada saat itu hari agak gelap, jadi tidak begitu jelas kelihatan orangnya. Ketika itu malam takbiran, suara bedug dan takbiran makin sayup-sayup, lalu terdengar suara orang memberi salam dari pintu luar. Ibu mendengar suara lirih dan lesu dari balik pintu depan  masuk rumah. Ibu bergerak mendekati pintu rumah, lalu membuka pintu lebih lebar. Nampak Raden Saleh berdiri di hadapannya. Suasana jadi hening tiba-tiba, hanya terdengar suara bedug dan takbiran yang sayup-sayup, tetapi jelas terdengar. Setelah lama berpandangan, mereka terkejut dengan menyebut-nyebut nama. Raden Saleh tampak berubah wajahnya semenjak perceraian dengan Tina. Kemudian, memandangi anak-anaknya satu per satu, anak-anaknya semua ternyata sudah lebih besar dari Ayahnya.

Mintarsih dan Maimun senang karena mereka masih bisa melihat ayahnya kembali, Raden Saleh menitihkan air mata melihat anak-anaknya yang kini sudah besar tanpa ada dirinya di samping anak-anaknya. Ibu bercerita kepada Raden Saleh kalau Gunarto bekerja di perusahaan tenun, sedangkan Maimun tak pernah tinggal kelas selama bersekolah. Tiap kali keluar sebagai yang pertama dalam ujian. Sekarang mereka sudah mempunyai penghasilan masing-masing. Sementara itu, Mintarsih membantu aku menjahit. Raden Saleh menceritakan dirinya kepada Tini sepuluh tahun ia menjadi seorang saudagar besar di Singapura. Ia menjadi kepala perusahaan dengan pegawai berpuluh-puluh orang. Akan tetapi, malang baginya, toko itu habis terbakar. Lalu, seolah-olah seperti masih belum puas menyeret dia kelembah kehancuran, saham-saham yang dia beli merosot semua nilainya sehabis perang ini. Sesudah itu, semua yang dia kerjakan tak ada lagi yang sempurna. Sementara dia sudah mulai tua. Lalu, tempat tinggalnya, keluarganya, dan anak istrinya tergambar kembali di depan mata dan jiwanya. Mereka seperti mengharapkan kasihnya. Lalu, Raden Saleh memandang Gunarto dan menyuruhnya untuk membawakan segelas air putih. Tetapi, Gunarto tidak mau mengambilkannya. Gunarto belum bisa memaafkan ayahnya.

 Gunarto mengatakan,Kami tidak mempunyai seorang Ayah. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya kami membanting tulang selama ini? Jadi budak orang! Waktu aku berumur delapan tahun, aku dan Ibu hampir saja terjun ke dalam laut, untung Ibu cepat sadar. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya aku menjadi anak suruhan waktu aku berumur sepuluh tahun? Kami tidak mempunyai seorang Ayah. Kami besar dalam keadaan sengsara. Rasa gembira di dalam hati sedikitpun tidak ada. Maimun, lupakah engkau waktu menangis di sekolah rendah dulu? Karena kau tidak bisa membeli kelereng seperti kawan-kawanmu yang lain. Kau pergi ke sekolah dengan pakaian yang sudah robek dan tambalan sana-sini? Itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang Ayah! Kalau kita punya seorang Ayah, lalu kenapa hidup kita melarat selama ini!”

Ibu menangis dan Maimun merasa sedih mendengar perkataan dari Gunarto. “Ibu seorang perempuan. Waktu aku kecil dulu, aku pernah menangis di pangkuan Ibu karena lapar, dingin dan penyakitan, dan Ibu selalu bilang “Ini semua adalah kesalahan Ayahmu, Ayahmu yang harus disalahkan.” Kemudian aku jadi budak suruhan orang! Dan Ibu jadi babu mencuci pakaian kotor orang lain! Tapi aku berusaha bekerja sekuat tenagaku! Aku buktikan kalau aku dapat memberi makan keluargaku! Aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh pertolongan orang lain! Yah, orang yang meninggalkan anak dan istrinya dalam keadaan sengsara. Tapi aku sanggup menjadi orang yang berharga, meskipun aku tidak mengenal kasih sayang seorang ayah! Waktu aku berumur delapan belas tahun, tak lain yang selalu terbayang dan terlihat di ruang mataku hanya gambaran Ayahku yang telah sesat! Ia melarikan diri dengan seorang perempuan asing yang lalu menyeretnya ke dalam lembah kedurjanaan! Lupa ia kepada anak dan istrinya! Lupa juga ia kepada kewajibannya karena nafsunya telah membawanya ke pintu neraka! Hutangnya yang ditinggalkan kepada kita bertimbun-timbun! Sampai-sampai buku tabunganku yang disimpan oleh Ibu ikut hilang juga bersama Ayah yang minggat itu! Yah, masa kecil kita sungguh-sungguh sangat tersiksa. Jika memang kita mempunyai Ayah maka Ayah itulah musuhku yang sebesar-besarnya!” Ujar kembali Gunarto.

Raden Saleh berkata di antara batuknya “Aku memang berdosa dulu itu. Aku mengaku. Itulah sebabnya aku kembali pada hari ini. Pada hari tuaku untuk memperbaiki kesalahan dan dosaku. Tapi ternyata sekarang. Yah, benar katamu Narto. Aku seorang tua dan aku tidak bermaksud untuk mendorong-dorongkan diri agar diterima di mana tempat yang aku tidak dikehendaki, Baiklah aku akan pergi. Tapi tahukah kau Narto, bagaimana sedih rasa hatiku. Aku yang pernah dihormati, orang kaya yang memiliki uang berjuta-juta banyaknya, sekarang diusir sebagai pengemis oleh seorang anak kandungnya sendiri, tapi biarlah sedalam apapun aku terjerumus ke dalam kesengsaraan, aku tidak akan mengganggu kalian lagi.”  Raden Saleh berdiri dan dengan batuk-batuknya meninggalkan mereka.

Ibu dan Mintarsih terus menangis, sementara Maimun kaku, suara bedug dan takbir terus bersahu-sahutan. Lalu, terdengar suara gemuruh petir dan hujan pun turun. Raden Saleh bergerak perlahan sambil batuk-batuk, sementara Maimun mengikuti dari belakang. Dengan menitihkan air mata Maimun dan Mintarsih mencoba untuk menghalangi ayahnya agar tidak pergi. Raden Saleh memandangi anak-anaknya satu per satu, lalu keluar dengan perlahan sambil batu-batuk. Berjalan lemah diiringi suara bedug dan takbiran yang sayup-sayup masih terdengar, sementara hujan turun dengan derasnya. Sementara itu, Maimun dan Mintarsih meminta terus Gunarto untuk memaafkan kesalahan ayahnya, tetapi Gunarto masih belum bisa memaafkan ayahnya. Maimun akan memanggil kembali ayahnya pulang, ia tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan Gunarto. Maimun lari keluar rumah, sementara hujan makin lebat diiringi suara bedug dan takbiran sayup-sayup terdengar. Gunarto berteriak kepada Maimun untuk segera kembali, Gunarto cepat hendak menyusul Maimun, tapi tidak jadi, lalu duduk kembali. Ibu dan Mintarsih menangis, suasana hening sejenak hanya terdengar suara bedug dan takbiran serta gemuruh hujan. Tak berapa lama tampak Maimun masuk kembali, namun ia hanya membawa pakaian dan kopiah ayahnya saja, Maimun kelihatan menangis. Mereka saling bertanya-tanya di mana ayahnya sekarang. Gunarto berbicara sendiri sambil memeggang pakaian dan kopiah Ayahnya, ia tampak menyesal atas perbuatannya.

Gunarto berteriak memanggil-manggil ayahnya lalu lari keluar rumah dan terus berteriak-teriak seperti orang gila. Ibu, Mintarsih dan Maimun bersamaan berteriak memanggil Gunarto, suara bedug bersahut- dahutan diiringi takbir. Sementara hujan masih saja turun dengan derasnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi Sang Penguntai Masa Depan

  Sang Penguntai Masa Depan  _Karya: Imam Basori Alwi_  Setahun sekali memperingati hari jasamu  Hanya sehari mengenang pengabdianmu Sungguh...