KETIDAKADILAN
GENDER DALAM NOVEL
PEREMPUAN BERKALUNG
SORBAN KARYA
ABIDAH EL KHALIEQY
Disusun untuk memenuhi
tugas
Mata Kuliah : Sastra Populer
oleh
NAMA : IMAM BASORI ALWI
NIM : 2101417086
ROMBEL : 03
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
KATA
PENGANTAR
Dengan menyebut
nama Allah Swt.
Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penulis
panjatkan
puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah
Sastra Populer yang berjudul “Ketidakadilan
Gender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy” dengan baik.
Adapun makalah ini telah penulis usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tidak
lepas dari semua itu, penulis
menyadari bahwa terdapat kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun
segi lainnya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran
sehingga dapat memperbaikinya. Berharap
semoga makalah ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat memberikan
inspirasi terhadap pembaca.
Semarang,
11 Desember 2019
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR
ISI...................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan
Masalah................................................................................... 2
1.3 Tujuan
.................................................................................................... 3
1.4 Manfaat................................................................................................... 3
BAB
II LANDASAN TEORI........................................................................... 4
2.1 Sastra Populer......................................................................................... 4
2.2 Feminisme............................................................................................... 6
BAB
III PEMBAHASAN................................................................................. 9
3.1
Analisis Novel Perempuan Berkalung Sorban
dengan
Pendekatan Feminisme............................................................... 9
BAB
IV PENUTUP........................................................................................... 22
4.1 Simpulan................................................................................................. 22
4.2 Saran....................................................................................................... 22
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................ 23
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada zaman
modern sekarang ini kedudukan sastra semakin meningkat dan semakin penting.
Sastra tidak hanya memberikan kenikmatan dan kepuasan batin, tetapi juga
sebagai sarana penyampaian pesan moral kepada masyarakat atas realita sosial.
Kondisi ini tengah terjadi pada sastra populer yang cenderung terkenal atau
digemari pada waktu tertentu atau bersifat sesaat. Fiksi populer tidak terlalu
terkait dengan wacana kreativitas dan orisinalitas, dan lebih berkaitan dengan
produksi dan kerja keras. Paradigma utama untuk mengidentifikasi fiksi populer
bukanlah kreativitas, tetapi industri (Gelder, 2004: 15).
Pembicaraan
tentang sastra populer tidak dapat dilepaskan dari budaya populer. Adorno
menyatakan bahwa kebudayaan industri telah mendominasi dan menentukan seni dan
kebudayaan yang sesuai dengan apa yang diinginkan. Keadaan dan situasi yang
terjadi pada masa penciptaan karya sastra itu, baik sosial budaya, agama,
politik, ekonomi, maupun
pendidikan. Selain
itu, karya sastra dapat
digunakan sebagai dokumen sosial budaya yang menangkap realita dari masa
tertentu, menjadi keharusan bahwa karya sastra yang tercipta mencerminkan
situasi kondisi pada saat karya sastra ditulis. Salah satu masalah yang sering
muncul dalam karya sastra adalah subordinasi perempuan. Anggapan negatif
terhadap perempuan atau pendefinisian perempuan dengan menggunakan kualitas
yang dimiliki laki-laki sangat berhubungan dengan konsep gender. Gender adalah
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikontruksi
secara sosial maupun kultural. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam
berbagai bentuk,
yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan
tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotype, kekerasan (violence),
beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) (Mansour Fakih 2013: 13). Secara umum novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah
EL Khalieqy banyak memberikan gambaran-gambaran tentang perempuan, mengapa
perempuan perlu melakukan pemberontakan dan perubahan dalam diri dan hidupnya.
Sebagai bagian dalam sebuah keluarga sudah selayaknya menempati posisi sebagai
seorang anak kyai yang mempunyai pesantren. Anissa sosok perempuan yang
mempunyai karakter cerdas, berani, berpendirian kuat dalam menentang
ketidakadilan gender terhadap dirinya, dan
menginginkan
perubahan,
serta mampu memperjuangkan apa yang menjadi hak dan kepentingannya. Bahwa pada
dasarnya perempuan juga bebas untuk memilih apa yang ingin dilakukan selagi hal
itu baik untuk dirinya dan keyakinanya, seorang perempuan bisa untuk memutuskan
dan menentukan sendiri apa yang dianggap pantas untuk diri dan hidupnya.
Perempuan dapat melakukan segala sesuatu hal yang sepatutnya dilakukan oleh
seorang laki-laki karena
perempuan dapat hidup mandiri walaupun tanpa kehadiran laki-laki dalam hidupnya. Novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai
salah satu karya naratif yang sarat dengan unsur-unsur ceritanya, merupakan
novel yang mengangkat permasalahan tentang kehidupan perempuan.
Berdasarkan hal
tersebut, untuk mengupas seluk beluk novel Perempuan
Berkalung Sorban dengan mendasarkan keinginkan adanya keadilan dalam
memandang eksistensi perempuan sehingga dilakukanlah analisis novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah EL
Khalieqy dengan menggunakan pendekatan feminisme sebagai alat bedahnya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah
marginalisasi terhadap perempuan pada novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah EL Khalieqy dengan menggunakan pendekatan
feminisme?
2. Bagaimanakah
beban kerja perempuan pada novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah EL Khalieqy dengan menggunakan pendekatan
feminisme?
3. Bagaimanakah
kekerasan terhadap perempuan pada novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah EL Khalieqy dengan menggunakan pendekatan
feminisme?
4. Bagaimanakah
stereotipe terhadap perempuan pada novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah EL Khalieqy dengan menggunakan pendekatan
feminisme?
5. Bagaimanakah
subordinasi terhadap perempuan pada novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah EL Khalieqy dengan menggunakan pendekatan
feminisme?
1.3
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan
marginalisasi terhadap perempuan pada novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah EL Khalieqy dengan menggunakan pendekatan
feminisme.
2. Mendeskripsikan
beban kerja perempuan pada novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah EL Khalieqy dengan menggunakan pendekatan
feminisme.
3. Mendeskripsikan
kekerasan terhadap perempuan pada novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah EL Khalieqy dengan menggunakan pendekatan
feminisme.
4. Mendeskripsikan
stereotipe terhadap perempuan pada novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah EL Khalieqy dengan menggunakan pendekatan
feminisme.
5. Mendeskripsikan
subordinasi terhadap perempuan pada novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah EL Khalieqy dengan menggunakan pendekatan
feminisme.
1.4
Manfaat
1. Diharapkan
akan mampu menjadi salah satu referensi yang dapat digunakan untuk mengkaji
karya sastra dalam segi analisis feminisme sebuah produk sastra.
2. Diharapkan
dapat menjadi tambahan pengetahuan.
3. Diharapkan internalisasi nilai-nilai dari karya sastra dengan sudut pandang perspektif gender dapat menjadikan cerminan diri agar lebih baik.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Sastra
Populer
Sastra Indonesia
dibagi menjadi dua arus utama, yaitu sastra serius dan sastra populer. Sastra
serius seringkali ditandai dengan adanya legitimasi dari lembaga atau kelompok
yang dipandang memiliki kompetensi sebagai ‘badan legitimasi sastra’, misalnya
Balai Pustaka pada masa pemerintahan kolonial, Dewan Kesenian Jakarta, dan
kelompok Horison. Di samping itu, sastra
populer adalah sastra yang cenderung ‘terpinggirkan’ atau berada di luar
lembaga atau kelompok tersebut dan
beredar luas di masyarakat. Di antara keduanya memang ada perbedaan visi dan
misi.
Bourdieu (2010:
17) membedakan keduanya dengan menyebut bahwa sastra ‘serius’ menggunakan
prinsip ‘otonom’, sedangkan sastra populer menggunakan prinsip ‘heteronom’.
Prinsip hierarki otonom adalah derajat konsekrasi yang spesifik (prestise
kesuastraan atau artistik), yakni derajat pengakuan yang diterima oleh lembaga
legitimasi. Prinsip hirearki heteronom adalah kesuksesan, sebagaimana dapat
diukur dengan inkes-indeks seperti angka penjualan buku. Sementara Gelder
(2004: 19) menyebutkan bahwa sastra serius menunjukkan kompleksitas, sedangkan
sastra populer lebih pada kesederhanaan. Keduanya menawarkan kenikmatan dengan
karakteristik yang khas, artinya bahwa pengalaman yang didapat ketika membaca
sastra ‘serius’ akan jauh berbeda jenisnya dengan pengalaman membaca sastra
populer. Sastra serius lebih erat kaitannya dengan kehidupan, sedangkan sastra
populer lebih pada fantasi.
Hal ini
dipertajam oleh Kayam (1981: 88) dengan meyatakan bahwa sastra populer merupakan
perekam kehidupan yang tidak banyak membincangkan kembali dalam serba kemungkinan. Penulis
sastra populer memilih rekaman tentang kehidupan, menyajikan kembali, dengan
perhitungan pembacanya akan banyak mengenal kembali pengalaman-pengalamannya hingga terhibur.
Adapun sastra yang ‘sastra’ atau sastra ‘serius’ (untuk menyebut sastra luhur)
tidak sekedar merekam kembali, tetapi membincangkan kembali melalui manipulasi
dan rasa sastra.
Sastra serius
memberikan banyak kemungkinan makna penceritaan. Sastra populer lebih pada pemenuhan
kebutuhan hiburan. Oleh karenanya, penulis sastra serius cenderung tidak banyak
memproduksi (menciptakan) buku. Dengan
demikian, karya sastra serius seringkali mampu
melampaui ruang dan waktu karena yang ditonjolkan merupakan sikap terhadap
realitas. Rampan (2009) menyatakan bahwa karya sastra lahir dari kesatuan utuh
antara getaran jiwa penulisnya dan
alam semesta, lingkungan dan objeknya. Penulis novel
dan cerpen tidak mau berkompromi dengan selera pasar/massa. Tidak masalah
apabila yang ditulis itu tidak disukai atau tidak dipahami pembaca. Yang
penting penulis telah mencurahkan ide dan tanggapan terhadap hidup dan
kehidupan dengan tetap mempertimbangkan kualitas karya yang indah, kreatif, dan
orisinil.
Kondisi ini
berbeda dengan sastra populer yang cenderung terkenal atau digemari pada waktu
tertentu atau bersifat sesaat. Fiksi populer tidak terlalu terkait dengan
wacana kreativitas dan orisinalitas, dan lebih berkaitan dengan produksi dan
kerja keras. Paradigma utama untuk mengidentifikasi fiksi populer bukanlah
kreativitas, tetapi industri (Gelder, 2004: 15). Penulis sastra populer dapat
memiliki produktivitas penciptaan karya yang begitu tinggi. Namun, penciptaan tersebut
lebih menekankan pada reproduksi, di
mana
kebaruan karya hanya dimunculkan melalui sedikit variasi, misalnya pada latar,
bukan pada gagasan cerita.
Pembicaraan
tentang sastra populer tidak dapat dilepaskan dari budaya populer. Adorno
menyatakan bahwa kebudayaan industri telah mendominasi dan menentukan seni dan
kebudayaan yang sesuai dengan apa yang diinginkan. Apa yang disebut baru dalam
kebudayaan industri bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Elemen utama dalam
seni populer atau seni massa yang dihasilkan oleh kebudayaan industri adalah
repetisi atau pengulangan-pengulangan dalam seni tersebut. Ideologi yang
menjadi latar belakang seni massa adalah ideologi bisnis atau kapital. Oleh
karena itu,
Adorno memandang bahwa seni yang telah terpengaruh kebudayaan industri bersifat
rendah.
Berbeda dengan
Adorno, Banjamin tidak memandang seni populer dengan nada negatif. Karya seni memang akan kehilangan aura dan
otonominya. Meskipun demikian, nilai ritual seni digantikan dengan nilai
pamernya. Reproduksi mekanis seni mengubah reaksi massa terhadap seni dengan
memberikan mereka kesempatan untuk berpartisipasi dalam resepsi maupun
apresiasi karena seni-seni populer lebih mudah diakses dan memberikan mereka
peranan dalam penilaian kritisnya.
Perbedaan
selanjutnya terletak pada eksplorasi tema cinta. Persoalan cinta yang acap kali
hadir dalam karya sastra juga memiliki perbedaan posisi dalam sastra serius dan
sastra populer. Dalam sastra serius cinta hadir sebagai ‘bumbu penyedap’ saja,
seringkali hanya sebagai penyusunan plot cerita, dan dalam porsi yang tidak
dominan. Dalam sastra populer justru berlaku sebaliknya. Cinta hadir dalam porsi yang dominan dan
menjadi pusat cerita. Cinta dalah persoalan ringan yang seringkali membuat
orang merasa terharu biru. Selain persoalan cinta, perbedaaan antara sastra serius
dan populer terletak di
ending-nya. Cerita dalam sastra
populer diakhiri dengan kebahagiaan pada tokoh utama (happy ending). Hal tersebut dikarenakan tujuan utama dari sastra populer adalah
sebagai karya hiburan. Pembaca akan menyenangi sebuah cerita yang diakhiri
dengan kemenangan tokoh utama, yang umumnya baik, dan kekalahan pada tokoh
jahat. Sastra ‘serius’ tidak dibebani oleh
ending yang demikian. Penulis sastra ‘serius’ justru akan mempermainkan
ending untuk membuka kemungkinan pemaknaan. Oleh karenanya, dalam sastra serius
akan dijumpai karya sastra dengan akhir terbuka atau menggantung (open ending).
2.2
Feminisme
Feminisme
identik dengan istilah gender. Konsep terpenting dalam membahas kaum perempuan
adalah membedakan antara konsep seks dan konsep gender. Fakih (2008: 3) menyatakan bahwa
“pemahaman mengenai konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis
untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum
perempuan”. Hal tersebut di perkuat
dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Humm (2007: 157-158)
berikut ini. Feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang
menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan dengan sebuah ideologi transformasi sosial
yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan, selanjutnya Humm
menyatakan feminisme merupakan ideologi
pembahasan perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan
karena jenis kelaminnya.
Fakih (2008: 99) mengungkapkan bahwa
“feminisme adalah suatu gerakan yang pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa
kaum perempuan pada dasarnya ditindas,
dieksploitasi,
dan usaha untuk mengakhiri
penindasan eksploitasi tersebut”.
a.
Marginalisasi terhadap Perempuan
Salah satu unsur
feminisme dalam bentuk ketidakadilan,
yaitu marginalisasi. Marginalisasi pada perempuan merupakan batasan-batasan
yang diterima oleh kaum perempuan. Nilai-nilai patriarki yang sangat kental membuat kaum
perempuan mengalami diskriminasi dalam kehidupannya.
b.
Beban Kerja
Perempuan
Adanya anggapan
bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara, rajin, dan tidak cocok untuk menjadi kepala rumah
tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung
jawab kaum perempuan bahwa
sejak lama anggapan mengenai perempuan yang hanya boleh memiliki pekerjaan yang
hanya di area domestik saja, pencitraan perempuan yang lemah lembut dia harus
berada di sektor domestik. Pandangan inilah yang membuat perempuan sulit
bergerak di ruang publik.
c.
Kekerasan (Violence) terhadap
perempuan
Kekerasan (violence) merupakan invasi (assoult) atau serangan terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis seseorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu. Kekerasan
terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun
kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender,
kekerasan pelecehan seksual yang diterima oleh
kaum perempuan, jenis kekerasan yang muncul adalah tindakan pelecehan
yang dialami oleh perempuan di tempat umum.
d.
Stereotipe terhadap Perempuan
Stereotipe
adalah pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin
tertentu. Steretoip-stereotip
itu mencerminkan kesan umum mengenai bahasa perempuan dan laki-laki. Stereotip-stereotip tersebut
jarang sekali berpihak pada perempuan.
e.
Subordinasi terhadap Perempuan
Subordinasi
adalah suatu sikap yang menempatkan perempuan
pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau
irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin.
.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Analisis Novel Perempuan Berkalung Sorban
dengan Pendekatan Feminisme
a.
Marginalisasi terhadap Perempuan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban
Salah satu unsur
feminisme dalam novel Perempuan Berkalung
Sorban bentuk ketidakadilan,
yaitu marginalisasi. Marginalisasi pada perempuan merupakan batasan-batasan
yang diterima oleh kaum perempuan. Nilai-nilai patriarki yang sangat kental membuat kaum
perempuan mengalami diskriminasi dalam kehidupannya. Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban disinggung
bagaimana cara mendidik orang tua yang selalu membeda-bedakan perlakuan untuk
anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini dialami oleh tokoh utama, yaitu Annisa yang
selalu mendapatkan perlakuan yang beda dengan kakak saudara laki-lakinya,
seperti pada kutipan berikut.
“Ow…ow…ow…jadi
begitu. Apa Ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari
oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak
perempuan, Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan,
apalagi keluyuran mengelilingi lading, sampai ke blumbang segala. Memalukan!
Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!” tasbih bapak bergerak lamban,
mengena kepalaku.
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi
revisi) 2009: 7)
Kutipan tersebut
bercerita tentang bagaimana tokoh utama mendapatkan perlakuan berbeda yang
dilakukan oleh ayahnya. Sikap tidak suka akan perbedaan perlakuan yang diterimanya,
ditunjukan oleh sikap tokoh utama yang sering melanggar aturan-aturan yang ada.
Sikap-sikap yang ditunjukan oleh tokoh utama bermakna bahwa ia menginginkan
kebebasan dari budaya patriarki yang ada di lingkungan pondoknya. Ia tidak
menerima hanya karena alasan ia diperlakukan berbeda.
Sikap
pertentangan yang dilakukan oleh tokoh utama bahwa perempuan juga berhak
menaiki kuda dan mampu menjadi pahlawan juga dapat dibuktikan pada kutipan
berikut.
“Anak bandel
seperti ini jangan dilulu, nanti kebablasen. Ngelunjak.” Lek Khudori diam dan
tenang-tenang saja. Aku terkesan dengan ketenangan yang menurutku luar biasa
ini. Seakan ia menganggap bapak yang mengada-ada. Kolot. Kuno. Memangnya kalau
perempuan jadi pahlawan? Tidak boleh. Bukankah Tjut Njak Dhien jua hebat. Aku
juga ingin hebat seperti Ratu Balqis atau Hindun Bint Athabah.
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 34)
Pengambilan
latar tempat di Jawa juga mempengaruhi terjadinya diskriminasi terhadap
perempuan pada novel ini “dalam kontruksi budaya jawa munculnya kencenderungan boy preference (lebih berpihak kepada
anak laki-laki). Kecenderungan tersebut akhirnya menimbulkan ketidakadilan yang
terefleksi dalam perlakuan yang berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan.”
Seperti yang dijelaskan pada kutipan tersebut bahwa dalam budaya
masyarakat Jawa anak laki-laki lebih diutamakan dan dihargai kebebasannya dari
pada anak perempuan. Ini pula yang terjadi dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang mengambil latar di daerah Jawa
Timur. Sikap yang di tunjukan oleh Anisa menujukan bahwa ia memiliki keinginan
untuk diperlakukan secara adil, meskipun ia seorang perempuan. Ia tidak
menerima perlakuan orang-orang di sekitarnya yang menganggap perempuan sebagai
makhluk lemah dan bahwa
pada dasarnya manusia diciptakan sama, meskipun berasal dari bangsa, suku,
budaya yang berbed. Hal ini bertentangan dengan perlakuan yang dilakukan oleh
orang-orang di sekitarnya yang membeda-bedakannya
dengan saudara laki-lakinya.
Bentuk
ketidakadilan yang diterima oleh perempuan yang membuat diskriminasi kepada kaum
perempuan. Di mana
seorang perempuan diibaratkan sudah ditakdirkan oleh manusia itu sendiri, dengan memberikan tugas perempuan hanya
berada di dalam rumah dan di dapur saja, dibuktikan pada kutipan sebagai
berikut.
Tanganku mulai
dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan dan api pembakaran. Bau asap
membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong
membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi,
bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali
mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan Bapak yang terus saja duduk di meja
makan sambil ngobrol dan berdahak.
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi
revisi) 2009: 9)
Kutipan tersebut
bercerita tentang bagaimana tokoh utama mendapatkan perlakuan berbeda yang
dilakukan oleh orang tuanya. Tokoh utama,
yaitu Anisa mendapatkan perlakuan diskriminasi
dengan memberikan ketidakbebasan pada masa usianya yang masih muda, ia dituntut
untuk mampu dalam urusan dapur, seperti memasak, mencuci piring, mencuci gelas, dan sebagainya,
sedangkan kakak-kakaknya dan bapaknya hanya asik mengobrol tanpa membantu
pekerjaan dapur. Tokoh utama juga melakukan penolakan dari batinnya yang tidak
senang dengan pekerjaan di dapur, ia lebih senang berada di luar tanpa ada
batasan pekerjaan seperti seorang laki-laki. Hal ini terjadi diskriminasi bahwa
seorang perempuan bertanggung jawab pada urusan dapur saja.
Perlakuan
marginalisasi yang diterima oleh kaum perempuan juga dibuktikan pada kutipan di
bawah ini.
“Benar, Mbak.
Habis Rizal dan Wildan boleh kembali tidur, sementara Nisa harus membersihkan
tempat tidur dan membantu ibu memasak di dapur. Sementara Rizal dan Wildan
masuk lagi ke kamar, katanya mau belajar, padahal Nisa lihat sendiri mereka
kembali tidur sehabis shalat subuh.”
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi
revisi) 2009: 21)
Perlakuan yang
dilakukan ibu terhadap Anisa memberikan diskriminasi
kepada perempuan. Tokoh utama Anisa disuruh membantu ibunya masak di dapur,
sedangkan kedua kakak laki-lakinya tidak disuruh. Hal ini terjadi perlakuan
yang membedakan gender bahwa kaum perempuan saja yang tugasnya memasak di
dapur, sedangkan laki-laki tidak. Seperti dalam budaya masyarakat Jawa anak
laki-laki lebih diutamakan dan dihargai kebebasannya dari pada anak perempuan.
Oleh karena itu, orang tua yang memiliki anak perempuan menuntutnya untuk harus
bangun pagi untuk melakukan pekerjaan bersih-bersih rumah dan membantu ibu
memasak di dapur.
Penolakan tokoh
utama Anisa terhadap pekerjaan atau tugas dari orang tuanya yang membedakan
dengan kakaknya dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Tetap Nisa juga
lebih senang belajar di kamar sehabis shubuh daripada membantu ibu di dapur”.
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 22)
“Nisa, Nisa…!
Ayo keluar, bantu ibu di dapur!”
“Nisa ada PR
yang belum digarap, Bu. Nanti bisa kena setrap.”
“Mengapa tidak
digarap sepulang sekolah kemarin atau tadi malam?Ah…dasar pemalas
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi
revisi) 2009: 23)
Berdasarkan
kutipan tersebut Anisa tidak setuju dan merasa tidak senang membantu ibunya di
dapur. Dia lebih senang belajar daripada memasak di dapur. Hal ini tokoh utama
ditutut untuk membantu di dapur walaupun hatinya terpaksa. Kembali terjadi kaum
perempuan identik berada di
dapur, sebenarnya laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama, tidak
melulu perempuan di dapur dan tidak melulu laki-laki di kantor. Akan tetapi, kutipan tersebut
digambarkan perempuan wilayahnya selalu berada dalam rumah dan di dapur
sehingga terjadilah ketidakadilan gender.
Perlakuan
yang membedakan antara perempuan dan
laki-laki terlihat dari
tertawanya. Kaum perempuan sering ditegur dan tidak diperbolehkan untuk tertawa
keras-keras, sedangkan laki-laki
seringnya
tidak ditegur. Namun,
sebenarnya bahwa sesuatu yang berlebihan itu juga tidak baik, seperti halnya
tertawa apabila dilakukan dengan berlebihan atau dengan keras-keras tidak baik, baik untuk laki-laki maupun untuk
perempuan. Hal itu seperti pada kutipan di bawah ini.
“Sst! Jangan
keras-keras kalau ketawa. Kau ini anak perempuan. Tahu?”
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi
revisi) 2009: 34)
Diskrimasi terhadap
perempuan ditunjukan juga mengenai citra perempuan merupakan makhluk nomor dua
dan persoalan jodoh perlu ditentukan oleh oleh orang tua, seperti kutipan
berikut ini.
“Menurutku,
mungkin citra yang beredar di kalangan masyarakat luas bahwa perempuan ialah
makhluk nomor dua, banyak masalah dan menyulitkan, kurang produktif dan tidak
mandiri. Lebih jauh banyak kalangan masyarakat menganggap perempuan itu kurang
akalnya, tidak mampu mengambil keputusan. Jadi, dalam
hal menikah misalnya, tidak perlu ia dilibatkan dalam mengambil keputusan
kecuali kalau sudah janda.”
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi
revisi) 2009: 236)
Berdasarkan kutipan
tersebut, perempuan di mata kalangan masyarakat sudah dinilai tidak baik. Tokoh
utama Anisa juga dijodohkan oleh orang tuanya tanpa sepengetahuannya dan Anisa
pun kepada suaminya, akhirnya menjanda. Soal perjodohan sering dilakukan
kebanyakan orang tua untuk menjodohkan anaknya terutama memiliki anak
perempuan. Hal demikian juga masih terjadi pada
masa sekarang, akan tetapi hanya sedikit,
berbeda dengan zaman dulu yang terbilang banyak.
b.
Beban Kerja Perempuan dalam Novel Perempuan
Berkalung Sorban
Terdapat
gambaran mengenai beban kerja ditunjukan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban terdapat gambaran mengenai beban kerja
ditunjukan melalui tokoh utama dalam novel tersebut, dalam novel ini tokoh
utama yang dari kecil sudah ditekankan bahwa pekerjaan perempuan adalah di
rumah menjadi ibu rumah tangga, seperti pada kutipan berikut.
Tidak seperti
Wildan dan Rizal yang bebas keluyuran dalam
kuasanya, main bola, dan main layang-layang, serta aku disekap di dapur
untuk mencuci kotoran bekas makanan mereka, mengiris makanan hingga mataku
pedas semi kelezatan dan kenyamanan perut mereka.
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi
revisi) 2009: 44)
Kutipan di atas
menyatakan bahwa beban kerja perempuan memang sekitar pekerjaan domestik
seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan lainya. Sebenarnya pekerjaan
rumah tangga itu bukanlah kodrat yang harus dijalani oleh perempuan seperti
yang dijelaskan oleh Margiyani dalam Muhamad Hidayat “Memang benar perempuan
mempuanyai kodrat haid, mengandung, melahirkan dan menyusui, tetapi mengasuh
anak yang dikandung bukanlah kodrat.” Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan
bahwa peranan perempuan untuk memasak, mencuci, dan pekerjaan rumah tangga lainnya
bukan merupakan kodrat yang diterimanya dari lahir. Namun, semua itu adalah
sistem budaya dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Hal ini
juga diperlihatkan pada tokoh-tokoh perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, seperti tokoh Lek Umi dan Ibu
Anisa yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, walaupun mereka dalam
keadaan lelah.
Beban kerja yang
sangat banyak dilakukan seorang perempuan dibanding dengan laki-laki yang hanya
mencari nafkah saja, seperti pada kutipan berikut.
“Baiklah
anak-anak,” Pak Guru mencoba
menguasai suasana, “dalam adat istiadat kita, dalam budaya nenek moyang kita,
seorang laki-laki memiliki kewajiban dan seorang perempuan juga memiliki
kewajiban. Kewajiban seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja mencari
nafkah, baik di kantor, di sawah, di laut atau di mana saja asal bisa mendatangkan
rezeki yang halal, sedangkan seorang
perempuan, mereka juga memiliki kewajiban, yang terutama adalah mengurus urusan
rumah tangga dan mendidik anak. Jadi,
memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan merapikan seluruh rumah
adalah kewajiban seorang perempuan. Demikian juga memandikan anak, menyuapi,
menggantikan popok dan menyusui, itu juga kewajiban seorang perempuan. Sudah
paham, anak-anak?”
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 12)
Berdasarkan
kutipan tersebut bahwa beban pekerjaan perempuan begitu banyak, tidak seimbang
dengan laki-laki. Apabila diibaratkan seharian penuh pekerjaan perempuan tidak
akan selesai-selesai. Karena itu laki-laki seharusnya juga wajib membantu
pekerjaan seorang istri. Pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci, memasak, dan semua yang
berurusan dengan rumah sebenarnya adalah kewajiban seorang suami. Pada zaman nabi dan
menurut agama Islam demikian, apabila istri bersedia membantu dan jika tidak
itu adalah hak istri, serta apabila semua itu tidak bisa dikerjakan oleh semua maka suami perlu untuk
mencarikan asisten rumah tangga untuk meringankan pekerjaan rumah. Namun, penjelasan dari
kutipan tersebut berbeda,
perempuanlah yang harus melakukan semua itu dan sudah menjadi tradisi pula
sehingga beban yang berat ditanggung oleh perempuan bukan laki-laki.
c.
Kekerasan (Violence) terhadap
Perempuan dalam
Novel Perempuan Berkalung Sorban
Kekerasan
terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, tetapi kekerasan terhadap
satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender, kekerasan
pelecehan seksual yang diterima oleh kaum perempuan, jenis kekerasan yang
muncul adalah tindakan pelecehan yang dialami oleh perempuan di tempat umum.
Seperti dalam novel Perempuan Berkalung
Sorban pada kutipan berikut ini.
Maaf. Mungkin
lain kali. Sebab seseorang sedang menunggu kami, di utara jalan itu, aku
menirukan Aisyah lalu secepatnya pergi ke arah
utara. Tetapi laki-laki itu tidak gampang dibohongi, ia mengkap tanganku dan
berusaha meringkus tubuhku ketika seseorang yang benar-benar dari arah utara
memanggil namaku. Begitu suara Pak Tasmin memanggil namaku, laki-laki itu
surut mengurungkan niatnya. Ia melepaskan tanganku dan menoleh ke arah Pak Tasmin. Ku gunakan kesempatan itu untuk melangkah
menjauhinya dan Pak Tasmin paham. Lalu mendelik ke arah laki-laki monster yang baru saja
menggodaku. Beberapa orang melintas dan kemudian berduyun-duyun para penonton
keluar dari gedung pertunjukan. Perasaanku menjadi tenang dan ku ceritakan
semuanya kepada Pak Tasmin. “Dia itu laki-laki germo, tukang menculik anak-anak
ganis seperti Jeng Nisa.
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009:65)
Dari kutipan
tersebut dapat diketahui bahwa pelecehan pada perempuan dapat terjadi di mana saja, kapan saja
dan oleh siap saja. Bahwa selain itu perempuan-perempuan selalu mendapatkan kekerasan
baik kekerasan fisik maupun seksual. Kekerasan seksual yang dialamai perempuan
adalah pemerkosaan oleh suaminya sendiri. Dikatakan sebagai pemerkosaan,
padahal dilakukan oleh suami sendiri ini karena hubungan suami-istri dibangun
atas dasar mencintai dan saling memahami, tidak ada paksaan di dalamnya apalagi
jika prilaku seksual yang dilakukan itu menyimpang, ini bisa dikatagorikan
dalam kasus pemerkosaan dalam pernikahan dengan munculnya kaum perempuan yang
selalu mendapatkan semua hal itu dari suaminya. Seperti yang terlihat dalam
kutipan berikut.
Dengan paksa
pula ia buka bajuku dan semua yang menempel di badan.
Aku meronta kesakitan, tetapi ia
kelihatan semakin buas dan tenaganya semakin lama semakin berlipat-lipat.
Matanya mendelik ke wajahku. Kedua tangannya mencengkram bahuku sekaligus
menekan kedua tanganku hingga semuanya menjadi tak tertahankan. Seperti ada
peluru karet yang menembus badanku.
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 96)
Kutipan di atas
menunjukan bahwa perempuan mendapat kekerasan seksual oleh suaminya sendiri
sehingga menimbulkan trauma yang besar pada perempuan. Sebagai suami laki-laki
merasa mempunyai hak dan kekuasaan penuh atas istrinya, laki-laki tidak peduli
bagaimana perasaan
perempuan saat itu. Sudah nampak jelas sebagai seorang suami haruslah
memperlakukan dan menggauli istrinya dengan baik tidak dengan paksaan apalagi
dengan kekerasan. Ini sangat bertolak belakang dengan kutipan di atas bahwa
sang suami menggambarkan cara memperlakukan dan menggauli istrinya secara paksa
dan kasar.
Kekerasan
seksual dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Syamsudin terhadap Anisa juga dibuktikan
pada kutipan berikut.
Jika sekali
waktu ia mendapatiku telah berganti tempat tidur di atas kursi untuk
menjauhinya, ia akan menyeretku kembali ke atas ranjang dan mengikat tubuhku
dalam pelukannya. Bahkan, dalam keadaan seperti itu, ia justru menjadi bernafsu
untuk menggauliku. Seolah aku perempuan budak yang baru dibeli dari rampasan
perang Khaibar sehingga ia tak
merasa bersalah pada tingkahnya.
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi 2009: 98)
Kekerasan yang
tergambarkan dari kutipan tersebut bahwa suami yang bernama Syamsudin memiliki
nafsu yang tinggi kepada Anisa, akan tetapi cara untuk melakukan hubungan suami
istri dengan dilakukan secara kekerasan dan memaksa seolah-olah istrinya budak.
Pergaulan dengan cara ini tidak dibenarkan karena di sisi lain menyakiti fisik
dan batin dari seorang istri dan harusnya keduanya dilakukan dengan sama-sama
bersedia.
Adapun kekerasan
yang dilakukan oleh Syamsudin terhadap Anisa dalam melakukan hubungan suami
istri, seperti kutipan dibawah ini.
Sering ketika
aku mengepel lantai, ia datang diam-diam dari belakang, mendekapku, mencumbuiku
dan memaksaku untuk bermain cinta di lantai itu juga tanpa memberi kesempatan
kepadaku, bahkan sekedar untuk bernafas dari jepitan mulutnya yang dipenuhi
oleh bau asap rokok.
….Bahkan ia juga
memilih sesukanya bagian-bagian mana dari tubuhku untuk dicengkeram.
Dicakar-cakar semaunya, seakan aku ini kambing kurban yang sedang berada di
tangan seorang penjagal. Bukan saja tubuhku yang terluka, tetapi juga hati dan
jiwaku pun benar-benar terluka.
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 102)
….Setelah menampar, mencekik, dan
menjambak rambutku dengan penuh kebiadaban, setelah melihat tenagaku lemas tak
berdaya, ia pergi sambil meludahi wajahku berkali-kali. Busuk sekali bau
ludahnya.
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 103)
Sepanjang malam
itu, ia mengikatku dalam dekapnya. Mencincang hak dan kebebasanku sebagai
manusia, agar aku tak bisa lolos sekalipun satu geliatan. Satu-satunya yang
bisa lolos adalah pikiranku.
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 108)
Ia menjarah masa
istirahatku dan kembali dengan tuntutannya. Ia sadar betul mengenai haknya
sebagai seorang suami terhadap istrinya,
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 110)
Plak!
Plak!!
Ia menampar
mukaku bertubi-tubi hingga pipi dan pundakku lebam kebiru-biruan. Untuk kali
pertama, ku cakar wajahnya
dan ia membanting badanku ke lantai.
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 131)
Berdasarkan
kutipan tersebut terjadi kekerasan terhadap seorang istri yang dilakukan oleh
suaminya. Sungguh tragis di dalam rumah tangga seorang istri tidak memiliki
kebebasan dan berhubungan yang tidak sepatutnya dilakukan. Kekejaman dari
seorang suami memperlakukan dengan kasar, bermain tangan, dan melecehkan
terhadap istrinya. Tokoh utama Anisa bukan saja tubuhnya yang terluka, tetapi
juga hati dan jiwanya pun benar-benar terluka. Tidak sewajarnya perempuan dilakukan
seperti itu karena
perempuan dianggap lemah dan tidak berdaya sehingga sewenang-wenangnya
memperlakukannya seperti itu. Perempuan juga tidak tinggal diam apabila
diperlakukannya dengan kasar. Perempuan mempunyai hak dan kebebasan untuk
menolak atau menerima seperti halnya laki-laki dalam melakukan sesuatu
hubungan, bukan hanya laki-laki saja yang memiliki hak tersebut sehingga keduanya
memiliki kesiapan untuk melakukan hubungan suami istri karena kedudukan suami
dan istri itu setara. Sama-sama memiliki hak dan kewajiban sesuai akal pikiran,
perasaan, dan hatinya.
d.
Stereotipe terhadap Perempuan dalam Novel Perempuan
Berkalung Sorban
Bentuk
stereotipe yang terdapat dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban, yaitu anggapan bahwa
perempuan itu penggoda, seperti pada kutipan berikut ini.
“Ibu tahu, Nisa.
Khudhori tidak akan melakukan itu kepadamu, apalagi di tempat-tempat seperti
itu. Tetapi keakrabanmu dengannya telah menimbulkan kecurigaan masyarakat.
Terlebih sekarang ini. Ingatlah bahwa kini kau adalah seorang janda, Nisa. Dan
statusmu itulah yang membuat pikiran orang macam-macam dalam menilaimu. Sedikit
saja kau lengah, mereka akan berebut menggunjingkanmu.”
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 194)
Dari kutipan di
atas bahwa budaya dalam masyarakat memberikan stereotipe yang negatif bagi
perempuan, yaitu bagi perempuan sebagai makhluk
penggoda, terlebih lagi dalam satus janda. Ini ditunjukan perempuan mendapatkan
pelabelan negatif hanya karena
seorang janda sehingga masyarakat menyimpulkan bahwa ia seorang perempuan
penggoda pada
saat perempuan pergi dengan laki-laki yang bukan suaminya.
Bentuk anggapan
negatif masyarakat kepada seorang wanita yang telah berstatus janda sering
terjadi dan dilakukan perbincangan dengan memberikan stigma yang tidak baik
bagi perempuan, hal itu seperti pada kutipan berikut.
“Biasa. Janda kembang
kan selalu kesepian. Lalu, pamannya yang
ganteng itu mengambil kesempatan.”
“Iya. Tetapi
mbok sadar kalau dia itu putri seorang Kiai. Kasihan, kalau bapaknya sampai
menangung malu akibat perbuatannya.”
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 192)
Dari kutipan di
atas menunjukan bahwa seorang janda menjadi status yang negatif di kalangan
masyarakat. Banyak terjadi perbincangan yang dilakukan masyarakat apabila ada
seorang janda sedang bersama seorang laki-laki meskipun itu keluarga jauhnya
sendiri. Tokoh-tokoh tersebut berlatar di Jawa di mana sebagian
rumah-rumah masyarakat jaraknya berdekatan membuat masyarakat menjadi mudah
bergaul dan bergosip secara mudah dan tersebar secara cepat dari lisan ke
lisan.
Anggapan negatif
terhadap perempuan dilakukan di kalangan masyarakat meskipun tidak tau hal yang
sebenarnya. Anggapan negatif dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
“Sayang kalau
laki-laki sebaik dan sepandai dia, tidak memiliki anak yang akan mewarisi
karakter dan ilmunya,” kata mereka.
“Memang Jeng
Nisa itu baik, pandai, dan cantik pula. Tak ada kurang dirinya. Namun, jika seorang perempuan mandul, itu
adalah cacat seumur-umur. Entah atas dosa apa kok Allah memberinya cobaan
sebesar itu, ya?”
(Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi) 2009: 273)
Berdasarkan
kutipan tersebut, masyarakat atau tetangga dengan mudah memberikan pernyataan
bahwa yang mandul itu adalah perempuan, tanpa menelusuri duduk permasalahannya.
Anggapan negatif tersebut sering terjadi di masyarakat apabila dalam berumah
tangga suami istri tersebut belum juga memiliki keturunan, mesti yang
disudutkan ialah perempuan
karena
menganggapnya perempuanlah yang mengandung atau tidaknya anak. Belum tentu
perempuan yang mandul atau bisa jadi laki-laki yang mandul. Namun, kutipan tersebut
anggapan negatif yang keluar kali pertama
dari
mulut masyarakat bahwa perempuanlah yang mandul.
e.
Subordinasi terhadap Perempuan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban
Konsep
subordinasi pada perempuan dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban terlihat dalam lingkup rumah tangga, yaitu melalui
pendidikan. Memprioritaskan anak laki-laki untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi dibandingkan perempuan, ini disebabkan adanya anggapan
bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan
menjadi ibu rumah tangga yang kerjanya hanya mengurusi urusan rumah tangga.
Hal itu terjadi
dalam novel Perempuan Berkalung Sorban
tokoh utama (Anisa) yang baru lulusan SD telah dijodohkan dan
sudah berumah tangga dengan seorang laki-laki yang telah mendapat gelar sarjana
hukum, seperti berikut ini kutipannya.
Berkali-kali aku
memperingatkannya, tetapi aku
hanya perempuan lulusan sekolah dasar, katanya. Tahu apa tentang hukum.
Bukankah dia seorang sarjana, putra seorang. Sama sekali tak perlu petuah,
apalagi nasihat.
“Kau ini lulusan
SD berani bertingkah. Tak bisa ku bayangkan
jika lulus sarjana, Tuhan pun pasti kau debat juga.”
“Jika mungkin,
mengapa tidak? Besok aku mulai kembali sekolah dan suatu saat aku pun sarjana,
di mana bukan hanya
kepala dan otakku akan dipenuhi ilmu, tapi juga hatiku yang dapat menentukan,
mana sampah dan mana mutiara.”
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi
revisi) 2009: 100)
Dari kutipan
tersebut seorang perempuan tergambarkan hanya menempuh sekolah dasar, sedangkan
laki-laki telah lulus dengan gelar sarjana. Dengan begitu, orang tua menuntut
anak perempuannya tidak perlu untuk sekolah tinggi, toh nanti juga menjadi ibu
rumah tangga juga. itulah selama ini anggapan dari orang tua. Apabila itu
terjadi, akibatnya direndahkanlah seorang perempuan dihadapan laki-laki karena
mendapat pelecehan tidak pantas perempuan hanya berpendidikan rendah untuk
menasihati laki-laki yang berpendidikan tinggi. Namun, tokoh utama Anisa menentang dari
sikap perlakuan itu dengan menunjukan
bahwa ia mampu kembali sekolah dan menjadi sarjana. Hal tersebut
dibuktikan tokoh utama dengan semangatnya bahwa kaum perempuan juga mampu untuk
sampai ke pendidikan yang tinggi dan mengangkat derajat kaum perempuan agar
tidak terjadi lagi merendahkan dan pelecehan derajat perempuan.
Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban tokoh utama (Anisa) tidak diizinkan
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sedangkan kedua saudara
laki-lakinya (Rizal dan Wildan) boleh. Walaupun
demikian, tokoh yang diceritakan menikah ketika ia baru lulus sekolah dasar karena perjodohan,
tetap melanjutkan sekolahnya walaupun telah bersuami. Dalam kutipan sebagai
berikut.
Maka sekalipun sudah hampir dua minggu aku
absen dari panggilan guru, ku paksakan
diri ini untuk kembali ke sekolah Tsanawiyah. Dengan penuh keyakinan bahwa segalanya
akan berubah ketika lautan ilmu itu telah berkumpul di sini, dalam otakku……
Ku lahap
semua yang diajarkan para guru dengan sepenuh hati dan kemampuan berpikirku.
Tiga tahun berlalu dan kini aku telah lulus dengan menduduki rangking kedua setingkat kabupaten.
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi revisi
2009: 113)
Kutipan tersebut
menunjukan bahwa tokoh utama tidak ingin putus sekolah lantaran ia sudah
menikah. Ia tetap melanjutkan sekolahnya sampai akhirnya Aliyah (setara dengan
SMA). Saat Aliyah ia bercerai dengan Samsudin dengan alasan karena karena
selama ini Samsudin selalu berbuat kasar dan tak henti-henti menyakitinya.
Terlihat bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban tidak memiliki kesempatan untuk
melanjutkan sekolahnya dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Pemikiran yang
seperti inilah yang coba disingkirkan dengan penggambaran tokoh Anisa yang
teguh kukuh tak menyerah untuk terus bersekolah.
Tokoh utama
Anisa ingin menunjukan bahwa seorang perempuan juga memiliki hak yang sama
dengan laki-laki dalam kecerdasan sehingga sampailah ia melanjutkan ke
perguruan tinggi, seperti halnya pada kutipan berikut.
Atas dukungan
ibu dan Wildan juga atas pertimbangan bahwa kondisiku kurang baik untuk tinggal
terlalu lama tanpa aktivitas setelah menjanda, aku putuskan niatku untuk segera
berangkat ke Yogyakarta, melanjutkan sekolah di perguruan tinggi.
(Perempuan Berkalung Sorban (edisi
revisi) 2009: 202)
Berdasarkan
kutipan tersebut tokoh utama Anisa membuktikan bahwa seorang perempuan juga
berhak dan mampu untuk memiliki pendidikan yang sama dengan laki-laki. Meskipun
sebelumnya ia diperlakukan bahwa seorang perempuan tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi dan kini ia menjanda, tidak mematahkan semangatnya untuk menempuh
pendidikan yang tinggi. Hal itu juga berkaitan dengan kondisi lingkungannya
bahwa pada zaman dulu terlebih lagi daerah Jawa seorang perempuan tidak
diperbolehkan oleh orang tuanya untuk melanjutkan ke jenjang yang tinggi, akan
tetapi disuruh menikah setelah lulus sekolah menengah pertama ataupun menengah
atas. Dengan demikian, tokoh utama Anisa menyimbolkan untuk pergerakan kaum
perempuan agar mampu melanjutkan ke pendidikan tinggi tanpa ada batasan-batasan
dari pihak manapun sehingga tidak mengalami pembodohan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Feminisme dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban
karya Abidah el Khalieqy bahwasanya perempuan diperlakukan secara diskriminasi dalam haknya dan larangan-larangan yang
diberikan sangat membatasi kehidupan kaum perempuan, sedangkan anak laki-laki
lebih mempunyai hak yang bebas melakukan hal apapun. Perempuan juga mendapat
perlakuan kasar karena dianggap lemah tak berdaya sehingga laki-laki
memperlakukannya dengan sewenang-wenang. Anggapan negatif dari masyarakat bahwa
kaum perempuan yang tidak produktif dan menyusahkan. Memiliki beban pekerjaan
yang besar bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab
kaum perempuan dan
membatasi untuk memperoleh ilmu yang tinggi seakan-akan perempuan hanya
ditakdirkan untuk menduduki posisi di bawah kaum laki-laki, perempuan dilarang
bersekolah tinggi,
dan hanya kaum laki-laki saja yang bisa mendapatkan pendidikan yang lebih
tinggi. Namun, semua itu ditentang
oleh tokoh utama Annisa sebagai pergerak kaum perempuan atas perjuangan mencari
kebenaran dan keadilan bagi kaum perempuan. Walaupun sebelumnya menjadi korban
atas semua itu, tetapi semangat dan niatnya tidak pernah padam untuk mengangkat
derajat dan hak kaum perempuan agar tidak ada lagi adanya ketidaksetaraan
antara perempuan dan laki-laki.
4.2 Saran
Dalam analisis
ini masih terdapat kekurangan, yaitu
dalam hal sedikit membedakan ketidakadilan diskriminasi
dengan beban kerja perempuan sehingga diharapkan peneliti lain dapat lebih
membedakan batasan-batasan tersebut dalam penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, Pierre. (2010). Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian
Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Fakih, Mansour. (2008). Model Gender dan Tranformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gelder, Ken. (2004). Popular Fiction: The Logics and Prctices of
a Literary Field. New York: Routledge.
Humm, Maggie. (1986). Peminist Criticims. Great Britain: The Harvester Press
Khalieqy, El Abidah. (2001). Perempuan
Berkalung Sorban (edisi revisi tahun 2009).
Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar