Sinopsis Novel “Layar Terkembang” Karya Sutan Takdir Alisjahbana

 

Sinopsis


Sinopsis Novel “Layar Terkembang” Karya Sutan Takdir Alisjahbana

Oleh: Imam Basori A.

 



Dua gadis masuk ke dalam akuarium, yaitu adik kakak yang bernampilan beda.  Tuti yang tertua di antara dua saudara itu, sedangkan adiknya bernama Maria. Sekarang pada hari Minggu, kedua bersaudara itu melihat-lihat akuarium Pasar Ikan. Mereka datang terlalu pagi, tidak terlihat orang di sana. Dua saudara tersebut memiliki sifat yang sangat berbeda, Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu, keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan cakap serta banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya.  Sebaliknya, Maria seseorang yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Namun, sifat yang amat berbeda dari adik kakak tidak dapat merenggangkan tali Ilahi yang telah memperhubungkan keduanya.

Saat itu ada seorang laki-laki muda masuk dari balik pintu, tinggi badannya dan bersih kulitnya, berpakaian putih berdasi kupu-kupu dan berkopiah beledu hitam. Dia tertegun berada di tengah pintu, tak tahu apa yang hendak dikerjakannya melihat kedua perawan itu. Ia bersegera terus melangkah ke dalam dan sepatunya berkilat-kilat itu berbunyi berderi-derit di lantai.

Setelah Tuti dan Maria selesai melihat-lihat di akuarium, mereka menuju ke sepeda masing masing. Ketika itu, keluar pula pemuda itu dari dalam dan ia pun menghampiri kedua gadis itu, sebab sepedanya terletak dekat sepeda mereka. Dia mengatakan kepada kedua gadis itu bahwa di sana banyak orang datang. Ketika itu juga, Maria dengan kegirangan melihat Loesje, Klara, dan Corry, yaitu teman sekolahnya. Pemuda itu mendengar perkataan dari Maria, menjawab bahwa mereka dari sekolah H.B.S Carpentier Alting Stichting. Dia tahu karena punya teman yang sekolah bersama mereka. Amatlah riuhnya Maria bersenda gurau dengan teman-temannya itu. Di sisi lain, pemuda itu juga bercakap-cakap asyik dengan temannya. Dalam percakapan itu tidak sengaja, terdengar kepada Maria nama pemuda itu Yusuf. Mereka bersama-sama masuk ke akuarium kembali. Tuti tidak banyak berkata, ia memikirkan Kongres Putri Sedar dua minggu lagi akan diadakan, ia sebagai seorang pemimpin dalam perkumpulan yang terkemuka itu.

Di suatu perjalanan Maria, Tuti, dan Yusuf bercakap-cakap sepanjang jalan pulang. Yusuf dan Tuti, mereka sebelumnya pernah saling mengenal, tetapi tidak terlalu kenal pada suatu rapat umum Pemuda Baru. Yusuf mengantarkan kedua gadis itu sampai di depan rumahnya.

Yusuf sejak kembali dari mengantarkan Tuti dan Maria, pikirannya senantiasa berbalik-balik kepada mereka berdua. Perkenalan itu meninggalkan jejak yang dalam di kalbunya. Terutama menarik hatinya ialah Maria. Yusuf pergi sekolah dengan mengharap bertemu Maria kembali. Sekejap terperanjat ia mendengar suara, berpalinglah ia ke belakang dan nampak Maria, hatinya berdebar-debar dan ia agak keragu-raguan. Beberapa lamanya Yusuf dan Maria memandang kepada kesibukan kendaraan yang banyak itu.  Maka mereka pun naik ke atas sepedanya masing-masing menuju ke sebelah kanan ke arah stasiun. Di dalam perjalanan mereka bercakap-cakap hingga muka kedua anak muda itu berseri-seri kemerah-merahan. Dengan tiada terasa sedikit mereka telah sampai di Carpentier Alting Stichting. Lalu, mereka berpisah di sana. Maria menghampiri teman-temannya yang sedang duduk di bangku.

Di jalan Gang Hauber turun seorang anak muda dari sepeda, ialah Yusuf. Dalam sepuluh hari ini telah kelima kalinya ia datang ke rumah R. Wiriaatmaja itu. Tiap-tiap pagi ia menantikan Maria di hadapan Alaidruslaan dan dari sana sama-sama pergi ke sekolah. Tuti dan ayahnya telah merasa bahwa antara anak muda berdua itu sedang tumbuh tali perhubungan yang halus. Apabila Yusuf datang, selalulah diterima mereka dengan lemah-lembut dan hormat.

Setelah meletakkan sepedanya, pergilah Yusuf duduk bersama-sama Tuti di kursi sebelah kiri meja, datang Maria duduk di sisi kakaknya. Dari rumah turun Juhro membawa baki dengan tiga buah cangkir teh dan dua buah dengan kasstengel dan kattetong. Kedengaran delman datang dari Cidengweg sebelah selatan. Melihat laki-laki yang duduk di dalamnya ialah Partadiharja, yaitu paman dari Tuti dan Maria. Wiriaatmaja girang melihat iparnya itu datang, disuruhlah ia duduk, setelah ia duduk bersama-sama, disuruhlah Tuti mengambilkan dua cangkir teh lagi. Percakapan panjang membahas tentang anak dari Parta, yaitu Saleh yang memutuskan untuk keluar dari pekerjaan sebagai ajun komis di kantor justisi karena tidak sesuai dengan kehendak hatinya.

Telah sepuluh hari Yusuf kembali pada orang tuannya di Martapura. Pada suatu petang Yusuf menantikan surat atau apapun juga, maka di balik-baliknya tumpukan koran-koran itu. Dalam membalik-balik itu terbaca namanya yang dikirim oleh Maria. Pendek dan jelas, hampir tak ada yang penting sedikitpun isinya, tetapi bagi Yusuf tiap-tiap perkataan itu mempunyai arti yang lain. Sedap dan nikmat perkataan itu menari-nari dalam kalbunya.

Didapatinya sebuah surat kembali dari Maria, dalam surat itu diceritakannya pekerjaan dan perjalanannya setiap hari dengan Rukamah, saudara sepupunya. Dan kini setelah membaca surat dari Maria yang mengeluhkan kesepian dirinya itu. Laksana terbayang-bayanglah kepada Yusuf jalan yang harus ditempuhnya untuk melepaskan dirinya dari perasaan gelisah yang tak tentu itu.

Sepuluh hari sesudah itu, Yusuf meninggalkan Martapura menuju ke Panjang. Malam itu juga ia menyeberang Selat Sunda dengan kapal K.P.M. Sesampainya Yusuf di sana, Maria keheranan sampai Yusuf datang menemuinya, perkataan yang diucapkan dengan keheranan itu seakan-akan terlompat dari mulutnya, tak sengaja, tak tertahan-tahan. Mukanya lusuh dari bangun tidur itu bercahaya-cahaya mendengar Yusuf menceritakan kedatangan yang tak disangka-sangkanya itu.

Yusuf dan Maria duduk berdua di atas besar yang hitam kehijau-hijauan oleh lumut. Kedua-duanya takjub melihat ke hadapan air terjun Dago yang gemuruh bersorak terjun iri atas tebing yang rapat ditumbuhi rumpun bambu. Yusuf melihat Maria kurang sehat atau karena letih, dia pun bertanya kepada Maria, ternyata Maria sedang letih sebab dia berjalan jauh tubuhnya tidak kuat untuk berjalan terlalu jauh. Yusuf merasa menyesal tidak tahu sebelumnya akan hal itu, selanjutnya dimintalah Maria untuk bersandar di tepi tebing sebuah batu besar. Lalu, mereka makan bersama dengan makanan yang dibawanya dan bercakap-cakap asyik di tepi tebing itu. Sesuatu perasaan nikmat yang sejak dari tadi melingkungi kedua muda remaja itu datang mendorong memenuhi seluruh badannya dan sebelum ia dapat mengatur pikiran lagi, kedua tangannya telah terangkat mendekap tangan gadis yang baru selesai mencucukkan kembang pada bajunya. Dari mulutnya keluarlah ucapan, agak gemetar, tetapi nyata menyuarakan kepastian seseorang yang yakin akan kemenangannya. Muka Maria memucat ditundukannya ke bawah dengan tiada berkata suatu apa. Seraya melekapkan tangan gadis itu dengan tangan kirinya kepada dadanya, mesra seperti tiada hendak dilepaskannya lagi, perlahan-lahan Yusuf mengangkat muka Maria melihat kepadanya dengan tangan kanannya. Mata Maria nampak kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta menggemetarlah suaranya untuk pertama kali seumur hidupnya mengatakan kepada Maria bahwa ia mencintainya. Badan Maria melemah jatuh ke tangan Yusuf dan seraya menengadah dengan pandangan penyerahan, keluar dari mulutnya bisik lesu hampir-hampir tiada kedengaran, Maria menanti lama untuk menunggu perkataan dari Yusuf.

Tak dapat lagi ia meneruskan ucapannya, sebab Yusuf menunduk menutupkan bibirnya ke atas bibir Maria. Dan dalam curahan cinta pertama yang menggemetarkan badan mereka yang muda remaja itu, menjauh mengaburkan keinsafan akan tempat dan waktu. Sama-sama mereka berjalan, mesra berpegangan tangan di antara pohon-pohon bambu yang sayu berdesir-desir ditiup angin.

Maria telah menceritakan kepada Tuti bahwa ia telah berjanji kepada Yusuf akan menjadi istrinya di kemudian hari. Kepada Tuti dan Rukamah nyata benar kelihatan perubahan pekerti Maria dalam waktu yang akhir ini. Ingatannya sering tiada tentu, yang dipikirannya adalah kekasihnya. Kalau demikian, mungkin mabuknya perempuan dibuat oleh laki-laki sehingga tiada ada yang lain lagi yang teringat dan terpikir kepadanya, maka telah selayaknya benarlah perempuan menjadi hamba sahaya laki-laki. Pada suatu malam, sesudah makan, gadis bertiga itu berkumpul di kamar tempat tidur mereka. Beberapa lamanya Maria duduk melamun di beranda menantikan kekasihnya yang tidak kunjung-kunjung datang. Ketika itu, Rukamah tiba-tiba teringat kepadanya akan mengganggu Maria. Lekas diputarnya kenop lampu listrik dan bergesa-gesa ia masuk ke dalam dan memberitahukan kepada Maria bahwa ia, yaitu Yusuf datang. Maria tiada menyangka suatu apa langsung menggelompar dari tempat tidur dan dalam sekejap ia sudah ke luar kamar menuju ke depan, sedangkan Rukamah tertawa terbahak-bahak karena dia telah berhasil menipu Maria.

Sementara hari-hari Maria penuh kehangatan bersama Yusuf, Tuti pun ingin mengalaminya, tetapi Tuti juga memiliki kekhawatiran terhadap hubungan Maria dan Yusuf. Kemudian, Tuti menasihati Maria agar jangan sampai diperbudak oleh cintanya kepada Yusuf. Nasihat tulus dari Tuti justru memicu pertengkaran di antara mereka berdua. Namun, nasihat tersebut tidak diindahkan oleh Maria, ia sangat mencintai Yusuf, ia rela menyerahkan nasibnya di tangan Yusuf. Dia mengungkit bahwa cinta Tuti dengan Hambali adalah cinta perdagangan, baik dan buruk ditimbang sampai semiligram, tidak hendak rugi barang sedikit. Patutlah pertungan Tuti dengan Hambali dahulu putus sehingga Tuti marah besar dengan apa yang diucapkan oleh Maria. Dari kejadian itu, Tuti sama sekali tidak berbicara dengan Maria, dia merasa sendiri dan sepi dalam kehidupannya.

Suatu ketika Maria mendadak terkena penyakit malaria dan TBC sehingga Tuti pun kembali memperhatikan Maria. Tuti menjaganya dengan sabar dan tulus. Pada saat itu juga adik Supomo datang untuk meminta jawaban pernyataan cintanya kepada Tuti. Tuti memandang Supomo bukanlah pria idaman yang diinginkannya, tetapi sebenarnya Tuti ingin memiliki seorang kekasih. Dengan segera Tuti menulis surat penolakan. Sementara itu, keadaan Maria semakin hari makin bertambah parah. Kemudian ayahnya, Tuti, dan Yusuf segera membawanya ke rumah sakit. Dokter yang merawatnya menyarankan  agar Maria dibawa ke rumah sakit khusus penderita penyakit TBC di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat. Perawatan Maria sudah berjalan sebulan lebih, tapi keadaannya tidak juga mengalami perubahan yang baik. Yang terjadi adalah Maria semakin melemah.

Pada suatu kesempatan Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya. Di situlah Tuti terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut membuat Tuti telah tergugah alam pikirannya. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan organisasi-organisasi, tetapi juga di desa atau di mana pun pengabdian itu dapat dilakukan. Semakin hari hubungan antara Tuti dan Yusuf semakin akrab, sedangkan kondisi kesehatan Maria semakin mengkhawatirkan. Pada saat kritis Maria mengatakan sebuah pesan terakhir sebelum ia meninggal. Maria berkata bahwa ia tidak kuat hidup lagi di dunia, alangkah bahagianya rasanya di akhirat nanti, kalau dia tahu bahwa kakandanya berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti dirinya dan Yusuf  dalam beberapa hari ini. Permintaan terakhirnya sebelum ia meninggal, ia tidak rela selama-lamanya kakandanya masing-masing mencari peruntungan pada orang lain. Itulah pesan dari almarhum Maria. Setelah beberapa lama kemudian, sesuai dengan pesan dari almarhum Maria, Yusuf dan Tuti menikah dan bahagia untuk selama-lamanya.

1 komentar:

Puisi Sang Penguntai Masa Depan

  Sang Penguntai Masa Depan  _Karya: Imam Basori Alwi_  Setahun sekali memperingati hari jasamu  Hanya sehari mengenang pengabdianmu Sungguh...